Para pemuka Tionghoa tempo doeloe kemudian membangun rumah ibadat di pinggir sungai kecil. Bangunannya tidak sebesar di Sidoarjo karena lahan yang ada terlalu sempit. Kelenteng pun dikembangkan ke atas, vertikal.
Tidak ada perayaan khusus, selain sembahyang biasa pada tanggal 1 dan 15 kalender Tionghoa. Jarak Krian dan Surabaya yang sangat dekat, sekarang bahkan menyatu, membuat orang-orang Tionghoa memilih ke kelenteng-kelenteng besar di Surabaya. Bahkan, ke Malang, Tuban, hingga Semarang.
Liem Lie Ing, pengurus kelenteng, mengatakan, saat ini selain sembahyang rutin, juga diadakan arisan dua kali seminggu. Di aula yang cukup luas, warga Tionghoa Krian juga berlatih karaoke lagu-lagu Mandarin. "Tiap malam Minggu mesti ramai karena banyak umat yang datang kumpul-kumpul di sini," ujar Pak Liem.
Pada acara sembahyang rebutan, biasanya pengurus kelenteng mengundang grup wayang potehi dari Surabaya, Sidoarjo, atau Mojokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar