Pengikut

Jumat, 03 Juni 2016

KELENTENG KRIAN

Usia kelenteng ini pun cukup tua, hampir sama dengan Tjong Hok Kiong. Ini karena sejak dulu Krian, yang tak jauh dari Surabaya, sekitar delapan kilometer, menjadi pilihan orang Tionghoa untuk membuka usaha. Volume perdagangan di Krian bahkan lebih tinggi daripada kota-kota kabupaten lain di Jawa Timur. 
Para pemuka Tionghoa tempo doeloe kemudian membangun rumah ibadat di pinggir sungai kecil. Bangunannya tidak sebesar di Sidoarjo karena lahan yang ada terlalu sempit. Kelenteng pun dikembangkan ke atas, vertikal. 
Tidak ada perayaan khusus, selain sembahyang biasa pada tanggal 1 dan 15 kalender Tionghoa. Jarak Krian dan Surabaya yang sangat dekat, sekarang bahkan menyatu, membuat orang-orang Tionghoa memilih ke kelenteng-kelenteng besar di Surabaya. Bahkan, ke Malang, Tuban, hingga Semarang. 
Liem Lie Ing, pengurus kelenteng, mengatakan, saat ini selain sembahyang rutin, juga diadakan arisan dua kali seminggu. Di aula yang cukup luas, warga Tionghoa Krian juga berlatih karaoke lagu-lagu Mandarin. "Tiap malam Minggu mesti ramai karena banyak umat yang datang kumpul-kumpul di sini," ujar Pak Liem. 
Pada acara sembahyang rebutan, biasanya pengurus kelenteng mengundang grup wayang potehi dari Surabaya, Sidoarjo, atau Mojokerto.

MASJID KAUMAN KRIAN

  masjid kauman adalah salah satu masjid terbesar yang ada di krian saat ini, masjid ini selalu ramai akan jamaah ibadah setiap harinya. akan tetapi ada hal yang miris sekarang ini. Jarang-jarang ini isi dengan cerita pribadi tapi pingin juga sekali-sekali diisi cerita pribadi biar bisa buat catatan pengalaman. Berawal pada hari senin akhir bulan maret tepatnya dikos-an, tiba-tiba pingin banget buat sholat di Masjid Kauman, Krian, yang letakknya tepat depan kosan. Sepulang kerja dan sedang low motivation dan baper jadi pas banget kalau menyendiri disertai dzikir+doa di masjid sambil nunggu sholat isya. Di sana ada beberapa jamaah laki-laki dan perempuan. Dan seperti biasa mereka adalah golongan manula dan hanya sebagian kecil rakyat remaja termasuk saya. Melihat kejadian itu terpintas ada pikiran sedih dan miris, karena tempat ibadah jaman sekarang sebagian besar dipenuhi oleh orang lanjut usia yang notabene sudah dekat ajalnya. Sedangkan kaum muda lebih ramai nongkrong di cafe sebelah masjid ataupun tempat hiburan lainnya. Jadi teringat masa lalu saat masi ikut ngaji di TPA yang remaja masjid dan santrinya selalu ramai melakukan kegiatan remas saat menjelang sholat maghrib dan setelah sholat isya'.
masjid Miftahul Abidin kauman krian
Setelah masuk ke masjid lalu ambil air wudhu dan sejenak mengisi tabungan akhirat, saya duduk di bagian tepi sebelah dinding sambil mendengarkan suara sholawat menjelang isya'.Setelah sholat isya' ada pemandangan yang tidak biasa menurut saya, yakni biasanya jika jamaah masjid bersalaman dengan hanya berjabat tangan di sini, mereka bersalaman dengan mencium tangan orang yang paling tua meskipun orang itu bukan keluarga. Meskipun sama-sama neneknya mereka mencium tangan nenek lainnya. Akhirnya saya juga ikut-ikutan mencium tangan.

KOPI GIRAS KRIAN

banyak yang bertanya apa itu kopi giras ? apa bedanya dengan dengan kopi biasa ?
 Giras jika di artikan dengan bahasa jawa artinya Ganas atau Belum Jinak . Namun sebagian masyarakat khususnya kota surabaya mengartikan kata Giras adalah Warung Kopi . mayoritas penjual kopi giras di surabaya merupakan pendatang dari lamongan , gresik dan madura .
kopi giras juga memiliki arti "legi ( manis ) " dan "keras" dengan karateristik rasa yg mantab sehingga banyak penikmat kopi di surabaya dan sekitarnya sangat menyukai kopi ini. jika anda tidak menyukai kopi tubruk giras yang keras. anda bisa menambahkan susu didalamnya keistimewaan kopi giras walaupun di mix dengan susu kental manis. rasa kopi nya masih berasa di lidah. seperti di salah satu warung kopi di krian ini, selalu ramai akan pecinta dan penikmat kopi.

INGATAN TENTANG WARUNG KOPI TERUNG

Hasil gambar untuk warung kopi terung
Dulu. Dulu sekali, beberapa kali saya ke desa ini, baik Terung Kulon maupun Terung Wetan. Bersama kawan-kawan dengan masih memakai seragam putih abu-abu menikmati kopi dan menghisap rokok yang telah dilumuri dengan ampas kopi, nyete istilahnya, disalah satu warung kopi yang banyak tersebar di kedua desa ini. Saat itu kami bukan satu-satunya pengunjung warung yang masih berseragam sekolah, di beberapa kerumunan juga terlihat anak-anak dari sekolah-sekolah lain dengan aktivitas serupa. Bahkan pada waktu-waktu tertentu kawasan itu lebih terlihat sebagai forum pertemuan pelajar se Sidoarjo dan sekitarnya, saking penuhnya warung kopi desa-desa itu dengan anak-anak SMP dan SMA/STM.
            Desa ini adalah salah satu favorit tempat ngopi dan cangkruk saya bersama kawan-kawan ketika masih SMA selain warung kopi di pasar Larangan, dan sebuah sudut di sebelah barat alun-alun Sidoarjo tepatnya didepan gedung DPRD Sidoarjo. Sebenarnya lokasi desa ini lumayan jauh dari sekolah, namun ketenaran desa dan warung kopinya ini rupanya telah menggema sampai mendekati sekolah saya dulu yaitu SMA Negeri 4 Sidoarjo yang relatif dekat dengan pusat kota dan saya pun yakin ketenarannya akan segera lebih  meluas mengingat beberapa kawan saya yang akhirnya menjadi tahu tentang desa itu berasal dari berbagai wilayah di Sidoarjo mulai Waru di perbatasan Surabaya hingga Candi di selatan.
Lokasi desa ini termasuk wilayah kecamatan Krian. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Candinegoro yang termasuk kecamatan Wonoayu. Sebelah timur berbatasan dengan desa Jogosatru kecamatan Sukodono dan sebelah utara dengan desa Jatikalang kecamatan krian. Sedangkan sebelah baratnya desa Kemasan, yang termasuk kecamatan Krian. Secara administratif desa ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Terung Kulon dan Terung Wetan yang masing-masing terdiri dari beberapa dusun.
Untuk menuju ke dua desa yang saling bersisian ini dapat di tempuh melalui beberapa jalur. Dari arah utara, yaitu dari jalan raya Trosobo menjelang pertigaan By Pass kalau dari arah Surabaya, masuk ke selatan menuju jalan ke arah Jatikalang yang juga menjadi akses masuk stasiun Keboharan, terus ke arah selatan dan melewati sungai dan jembatan dengan dua pohon asam besar di kedua sisinya. Stasiun keboharan ini adalah stasiun kecil yang terjepit diantara stasiun Sepanjang dan Krian, tidak semua kereta api yang melintasi jalur selatan berhenti di sini, hanya kereta komuter Surabaya – Mojokerto dan beberapa kereta kelas ekonomi, setahu saya Rapi Dhoho juga singgah di sini. Selebihnya stasiun itu hanya berfungsi sebagai pemberhentian sementara untuk memberi jalan terlebih dahulu kepada kereta api kelas bisnis dan eksekutif yang lewat.
Kalau dari arah barat, desa ini bisa dicapai melalui jalan disebelah bekas pabrik gula Krian belok ke arah timur melalui Jalan Raya Krian – Sukodono menuju ke desa Candinegoro. Setelah sampai di perempatan Candinegoro kemudian berbelok lagi ke arah utara sekitar satu kilometer lagi. Sesuai dengan namanya, di desa Candinegoro ini memang terdapat sebuah candi. Tidak besar ukurannya, berbentuk segi empat dengan keliling kira-kira 5 x 5 meter dan tinggi sekitar 20 meter. Bahan dasar candi seperti kebanyakan candi di Jawa Timur yaitu batu bata merah. Dari jalan raya candi ini hanya kelihatan bagian atasnya, tertutup oleh sebuah Madrasah Ibtidaiyah yang berdiri didepannya.
Nama candi ini adalah candi Dermo. Entah mengapa bernama demikian. Pernah dalam suatu kesempatan saya mengunjungi candi ini. Dalam pikiran saya kesempatan itu saya pergunakan untuk mencari tahu berbagai hal tentang candi ini. Namun ketika saya sampai disitu seketika saya urungkan niat itu. Dipelataran candi memang terdapat sebuah pos jaga, namun siang itu tidak seorang penjaga pun yang saya temukan. Di pos tersebut hanya terdapat meja dan kursi yang tertata dengan rapi dan peralatan membersihkan rumput yang tergeletak di sebelahnya. Sebuah papan besar yang terpasang di sebelahnya juga tidak banyak membantu memberi informasi. Papan yang disitu tertera nama instansi pemerintah Propinsi Jatim yang berwenang untuk pemeliharaan benda-benda purbakala tersebut hanya memuat ancaman bagi yang berniat untuk merusak candi atau menjual benda-benda candi disekitarnya, tanpa menyisakan ruang sedikitpun bagi keterangan sejarah dan arkeologi tentang candi itu.
Menilik dari namanya mungkin sekali candi Dermo ini adalah nama lebih lanjut dari Dharma, itu bisa berarti perbuatan baik, atau pemberian dengan tujuan kebaikan. Pada masa kerajaan apa dan pemerintahan raja siapa candi ini dibangun tidak dapat saya ketahui karena penelusuran saya yang gagal itu. Namun dari beberapa artikel yang saya baca setelah itu di internet menyebutkan bahwa candi tersebut berasal dari masa Majapahit. Sebenarnya di depan candi itu, masih menjadi satu bagian dari candi, terdapat dua buah arca walaupun bentuk utuhnya tidak diketahui karena bagian atas dari kedua arca tersebut telah hancur, bisa menjadi petunjuk tentang periode pembangunan candi ini. Namun karena kemampuan teknis pembacaan artefak yang lemah akhirnya saya hanya bisa menduga-duga saja.
Melihat keadaan desa Terung Kulon maupun Terung Wetan itu kini tak ubahnya desa-desa lain di Sidoarjo. Pertanian dan sektor informal menjadi pemandangan utama yang bersaing dengan industrialisasi yang berkembang di wilayah sekitarnya. Menjadikannya sebuah wilayah yang tidak benar-benar agraris namun juga tidak bisa untuk dikatakan urban, karena pranata sosial dan kultural belum mendukungnya. Warung kopi yang banyak bermunculan akhirnya mungkin bisa diartikan sebagai ruang temu antara nilai-nilai lama yang mencoba bertahan dan nilai-nilai baru yang terus menggerus.
Entah sejak kapan warung kopi akhirnya menjadi trade mark kedua desa ini. Yang jelas ketika saya masih SMP, sekitar tahun 1998, sebenarnya saya telah tahu desa ini karena kawan-kawan desa saya sering memperbincangkannya dan teman-teman SMP pun kerap menyisipkannya dalam obrolan-obrolannnya. Warung-warung kopi itu akan banyak dijumpai di sepanjang jalan desa, baik yang dari arah Candinegoro, Kemasan maupun Jogosatru. Sebagian lagi tersembunyi di kebun-kebun belakang perkampungan. Tidak ada yang unik atau khas dengan warung-warung kopi itu jika dibandingkan dengan warung kopi di desa-desa lainnya, memilih lokasi di sebelah persawahan, sebagian menyediakan meja bilyard, kemudian beberapa ada yang didesain semacam dangau-dangau kecil lengkap dengan dinding gedek dan atap jerami, dan beberapa ada yang menyediakan perangkat sound system yang menyajikan alunan dangdut koplo dan remix tanpa henti serta waitres menor dengan senyum ramah nan menggoda. Ciri itu banyak dijumpai diwarung-warung kopi disekitar Wonoayu, Krian, Sukodono, Tulangan dan beberapa wilayah lainnya.
            Namun tidak semua warung kopi disitu hanya mengekploitasi pemandangan sawah dan desain warung plus pernak-perniknya. Sebagian lagi sangat serius jualan kopi. Yang sebagian inilah yang menjadi warung kopi legendaris karena nikmat kopinya, bukan karena embel-embel yang lain. Salah satu pemilik warung kopi ini, Wak Yam panggilannya, entah siapa nama lengkapnya, seorang perempuan tua dengan warung kopi yang bernama sama dengannya bahkan telah memperoleh gelar Haji hanya dengan mempasrahkan rejekinya pada ratusan, mungkin ribuan cangkir kopi yang dibuatnya setiap hari mulai menjelang siang hingga menjelang dini hari.
Diantara deretan warung kopi, alunan dangdut remix, bola bilyard yang saling beradu, serta tawa genit sang penjaga, ternyata ada yang terlewatkan begitu saja ketika dulu saya sering mampir ngopi di desa ini. Itupun baru sedikit saya ketahui ketika saya telah lama berkuliah. Desa ini ternyata memiliki catatan sejarah yang erat berkaitan dengan sejarah panjang kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dan terutama Surabaya.
            Dalam prasasti Trowulan nama desa ini sudah disebut. Prasasti Trowulan berangka tahun saka 1280 atau tahun 1358 M dikeluarkan pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk atau Rajasanagara. Prasasti ini bukanlah berkaitan dengan pendirian sebuah desa, jadi desa Terung sendiri tentu sudah ada sebelum dikeluarkannya prasasti itu. Prasasti Trowulan memuat tentang ketentuan penambangan / penyeberangan sungai diseluruh mandala Jawa dan perintah agar setiap operator penambangan mematuhi peraturan yang telah dikeluarkan. Selain Terung prasasti Trowulan juga menyebut beberapa nama desa lain yang telah ada ketika itu yang keseluruhannya adalah desa yang memiliki penambangan. Desa-desa lainnya yang disebut antara lain adalah, Canggu, Warungin pitu, Pamotan ( Porong ), dan Kambang Sri ( desa ini terletak sekitar 5 kilometer di timur desa Terung dan sekarang bernama desa Bangsri. Versi lain mengatakan desa ini sekarang bernama Kembang Sore yang kini menjadi salah satu dusun di Terung Kulon ).
Untuk menjamin tegaknya hukum panambangan diseluruh mandala Jawa maka lebih lanjut prasasti itu menuliskan bahwa dua orang diberi kekuasaan untuk menjamin dipatuhinya peraturan itu. Dua orang itu adalah Panji Marggabhaya Ki Ajaran Ragi yang berasal dari desa Canggu dan Panji Angraksaji Ki Ajaran Rata yang berasal dari desa Terung. Kedua orang itu diperintahkan untuk membuat piagam perintah raja yang bertanda Rajasanegara diatas sebuah lempeng perunggu atau batu dan agar menjamin dipatuhinya hukum-hukum raja oleh semua operator penambangan sungai. Jika melihat bahwa kedua orang tersebut memakai nama Panji, itu mungkin adalah salah satu gelar bagi pejabat Majapahit, dimana nama Panji sendiri telah ada semenjak kerajaan Jenggala
Menurut Heru Sukadrie ( 1977 ), penyebutan nama-nama desa dalam prasasti tersebut bukan di urut berdasar jarak yang terdekat dengan keraton Majapahit kemudian menghilir ke utara namun penyebutan nama desa-desa tersebut didasarkan atas dua kelompok desa yang masing-masing menjadi tanggung Jawab Panji Marggbhaya dan Panji Angraksaji. Panji Marggbhaya bertanggung Jawab atas kelompok I yang meliputi Mojokerto ( Canggu ) terus menghilir sampai Waringin Pitu sekitar Krian. Sedangkan Panji Angraksaji bertanggung Jawab atas wilayah II yang meliputi Pamotan ( Porong ) terus ke utara sampai di Surabaya.
Jika pada tahun dikeluarkannya prasasti tersebut yaitu 1358 M, dikatakan bahwa Surabaya menjadi tanggung Jawab dari seorang pejabat yang bertempat tinggal di Terung, agaknya pendapat H.J. De Graff ( 2001 ) yang mengatakan bahwa penguasa Surabaya pada awal abad XVI adalah seseorang yang tinggal di Terung bisa di pahami.
De Graff banyak menyandarkan pendapatnya dari keterangan yang termuat dalam Suma Oriental yang di tulis oleh penjelajah Portugis yang sangat terkenal dalam penulisan sejarah Jawa yaitu Tome Pires. Suma Oriental banyak memuat cerita tentang keadaan kota dan daerah Surabaya pada permulaan abad XVI. Pada waktu itu Surabaya sebagai kota pesisir tidak sepenting Gresik. Rajanya seorang prajurit tangguh, orang yang mempertahankan daerah Islam terhadap serbuan dari raja-raja kafir ( mungkin yang di maksud adalah Hindhu ) tetangganya terutama Raja Blambangan yang menguasai ujung timur Jawa. Tanah milik raja Surabaya tersebut sangat luas, terletak di delta sungai Brantas yang juga menjadi sumber utama pendapatannya. Sedangkan antara Surabaya dengan penguasa Majapahit dikatakannya terdapat ketegangan hubungan diantara mereka. Namun ada masa dimana keduanya memasuki masa-masa damai.
Nama yang dikenal oleh Tome Pires untuk raja Surabaya tersebut adalah “Pate Bobat” yang dipertuan di Bubat. Tempat tersebut lebih jauh lagi ke arah hulu dari Surabaya sekarang. Oleh De Graff  “yang dipertuan di Bubat” tersebut dikatakannya adalah gelar yang diberikan oleh raja Majapahit  kepada yang menguasai tempat-tempat di tepi sungai di sebelah hilir pelabuhan sungai Majapahit. Nama kedua yang di kenal oleh Tome Pires sebagai raja Surabaya saat itu adalah sebuah nama yang dianugerahkan sebagai nama kehormatan oleh “Guste Pate” ( nama ini adalah yang disebut sebagai wakil dari kekuasaan kerajaan Majapahit ) yang sekaligus menandakan bahwa diantara keduanya tidak selalu bermusuhan. Pemberian nama kehormatan tersebut sebagai salah satu bentuk strategi diplomatik agar penguasa-penguasa Islam di pesisir tetap bersahabat. Nama kedua tersebut adalah Jurupa Galacam Imterem yang dituliskannya dalam ejaan Portugis, sehingga agak kacau jadinya yang bisa diartikan sebagai avamtejado capitao ( Panglima ulung ). Oleh De Graff nama tersebut di tafsirkan sebagai Surapati Ngalaga Ing Terung. Surapati bisa disamakan atau diartikan dengan Senopati, sebuah nama yang banyak dipakai oleh elit Jawa pada saat itu, pendiri Mataram juga memakai nama itu, Panembahan Senopati.
Apabila pada nama Surapati Ngalaga Ing Terung tersebut menunjukkan wilayah Terung, maka nama raja Surabaya itu pada permulaan abad XVI dapat menguatkan apa yang diberitakan cerita Jawa tentang peranan penting Pecat Tandha di Terung dalam pertempuran Islam Jawa Tengah melawan kota kerajaan lama Majapahit. Menurut cerita Jawa – yang saya kutip dari De Graff – penguasa di Terung itu masih saudara lain ayah dengan raja pertama di Demak, Raden Patah. Ibu mereka seorang wanita Cina dan mereka lahir di Palembang. Penguasa di Terung walaupun saat itu dia sudah memeluk Islam namun tetap setia kepada kekuasaan lama Majapahit dan menjadi bagian dari sisa-sisa kekuatan Kerajaan Majapahit dalam pertempuran mempertahankan Majapahit dari serbuan kaum santri pada tahun 1525. Konon ia sendiri yang membunuh Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus dalam sebuah perkelahian satu lawan satu.
Dalam Babad Blambangan dikatakan bahwa Pecat Tandha ini adalah nama penguasa Surabaya yang kedua setelah Sunan Ampel – terdapat dalam lampiran buku Akhudiat “ Masuk Kampung Keluar Kampung : Surabaya Kilas Balik” – yang setelah meninggal digantikan oleh putranya yaitu Pangeran Tundung Musuh. Namun menurut De Graff yang mendasarkan ceritanya pada legenda Islam tentang Sunan Ampel. Wali ini dikatakan diangkat sebagai imam di masjid Surabaya oleh seorang pecat tandha di Terung yang bernama Aria Sena yang karena jabatannya sekaligus bertindak sebagai pelindung Sunan Ampel dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Nama Sena ini dihubungkannya dengan gelar Senapati Ngalaga Ing Terung yang dikatakan Tome Pires dipakai oleh raja Surabaya pada permulaan abad XVI. Jadi nama pechat tandha ini lebih sebagai sebuah gelar bagi seorang pejabat tertentu – De Graff mengatakan bahwa nama ini adalah sebutan bagi penguasa raja dibidang perdagangan –  dalam kerajaan Majapahit daripada nama sebenarnya. Hal lain yang menguatkan pendapat De Graff bahwa Sunan Ampel bukanlah seorang penguasa definitif Surabaya walaupun mungkin dalam perspektif agama sebagai kekuatan sosial dia adalah pemimpin rohani, adalah kenyataan bahwa makam Sunan Ampel yang hingga kini ramai dikunjungi peziarah itu tidak diberi cungkup diatasnya. Oleh sebagian kalangan dianggap bahwa itu merupakan kehendak Sunan Ampel sendiri. Namun itu juga bisa diartikan karena Sunan Ampel tidak membangun sebuah dinasti kepemimpinan agama, berbeda dengan Sunan Gunung Jati maupun Sunan Giri.
Bagi desa saya sendiri, Wilayut, yang terletak sekitar tujuh kilometer di sebelah timur Terung. Keterangan-keterangan diatas bisa menjadi dasar pembenar hipotesa bahwa pendiri desa Wilayut adalah seorang prajurit dari Demak. Tradisi lisan desa kami tentang pendiri desa bisa menjadi petunjuk awal tentang itu. Orang yang mbabat desa kami dikatakan bernama mbah Sambi Demak. Dikatakan pula bahwa dia adalah seorang prajurit dari kerajaan Demak. Sebenarnya ada cerita-cerita lain tentang pendiri desa kami, namun untuk sementara hanya itu yang relevan untuk di catat di sini karena selebihnya perlu penggunaan metode sejarah lisan yang ketat dan peminjaman metodologi dari ilmu-ilmu lain seperti sosiologi dan psikologi. Kalau tradisi lisan tersebut dapat dipercaya, maka desa Wilayut telah ada sejak atau sekitar tahun 1525, tahun penyerbuan prajurit / santri Demak terhadap sisa-sisa kekuatan kerajaan Majapahit. Dan yang disebut dengan Mbah Sambi Demak mungkin sekali adalah salah seorang prajurit / santri dari Demak yang terlibat dalam pertempuran melawan Pechat Tandha atau Surapati Ngalaga Ing Terung. Berbagai keterangan tentang Terung diatas, walaupun sebagian masih belum jelas, sangat  bermakna bagi Terung dan memberi arti penting bagi wilayah-wilayah sekitarnya untuk menyingkap sejarah desa-desa lain di sekitar Sidoarjo yang sebagian masih gelap. Kegelapan yang berpangkal pada tertutupnya akses sumber-sumber primer baik karena keterbatasan akademis maupun karena kelangkaan sumber. Disamping itu pemaknaan sejarah pada ruang hidupnya sendiri yang berbeda pada masyarakat kami menyebabkan sebagian orang yang dikatakan terdidik secara akademis mengatakan bahwa kesadaran sejarah masyarakat kami rendah karena selama ini sejarah hanya diturunkan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari tradisi dengan metode tutur – oral tradition – tanpa pembacaan kritis atas itu.

NASI CAMPUR RUMAH MAKAN MELATI

Nasi Campur. Nasi+Mie+Sayuran+Lauk, alias nasi kota tanpa kotak ...
Nasi campur, siapa yang tak kenal dengan makanan khas Indonesia ini. Hampir dari sabang sampai merauke, semua tahu nasi campur. Namun, ada salah satu tempat yang saya rekomendasikan untuk membeli nasi campur. Bertempat di krian, jawa timur, tepatnya di sebelah masjid miftahul abidin di jl. Raya kauman , krian. Ada sebuah rumah makan yang cukup terkenal yang bernama rumah makan melati.
Banyak sekali menu yang disediakan. Namun yang paling terkenal memang nasi campur nya. Saya sudah cukup lama berlangganan nasi campur ketika masih kecil. Layaknya nasi campur biasa yang terdiri dari nasi putih, sambal goreng, kering tempe, dan ayam goreng. Namun di rumah makan ini terasa begitu beda.
Nasi putih yang disediakan terasa punel dan tekstur nya lembut. Pemilihan beras ataupun memasak berasnya sangatlah tepat. Begitu pula dengan sambal gorengnya. Bukan cuman kentang ataupun wortel, namun terdapat irisan daun bawang yang menambah aroma kelezatan nya.
Lauk pada nasi campur ini merupakan ayam yang dibumbui rendang. Ayam yang telah dikukus dan dicampur dengan bumbu rendang, ketika dimakan terasa empuk dan mudah untuk dikunyah. Ditambah lagi ayam yang dihidangkan sangatlah besar
Harga satu porsi cukuplah mahal, sekitar 20.000 rupiah. namun harga tersebut memang sepadan dengan satu porsi nasi campur dari rumah makan ini.